STOCKWATCH.ID (JAKARTA) — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menghitung dampak penerapan aturan baru terkait batas minimal saham publik atau free float. Rencana kenaikan batas minimal ini berpotensi membuat ratusan perusahaan tercatat atau emiten tidak memenuhi syarat. Hal ini terungkap dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Rabu (3/12/2025).
Rapat tersebut dihadiri oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, memaparkan simulasi kepatuhan emiten terhadap aturan baru ini. OJK memiliki tiga skenario kenaikan batas continuous obligation atau kewajiban saham publik berkelanjutan.
Skenario pertama mematok batas minimal 10%. Hasilnya, masih ada 192 emiten yang belum memenuhi syarat. Skenario kedua dengan batas 12,5% membuat jumlah emiten yang tidak patuh membengkak menjadi 270 perusahaan.
Kondisi makin menantang jika batas minimal dinaikkan menjadi 15%. Inarno menyebut jumlah emiten yang tidak memenuhi syarat akan melonjak drastis.
“Saat ini apabila kita berlakukan taruhlah 10%, itu yang memenuhi itu adalah 751 emiten. Dan yang tidak memenuhi itu adalah 192. Demikian pula dengan apa penambahan daripada free float ya. Kalau 12,5% itu yang tidak comply dengan saat ini itu bertambah menjadi 270 emiten. Dan emiten yang comply itu 673. Kalau kita naikkan kembali kepada 15%, itu yang comply itu adalah 616 dan yang tidak comply adalah 327,” ujar Inarno di hadapan anggota dewan.
Dampak kebijakan ini tidak hanya pada jumlah kepatuhan emiten. Pasar modal juga harus siap menyerap dana jumbo agar aturan ini berjalan mulus. OJK telah mengkalkulasi nilai tambah yang harus diserap pasar. Jika batas 10% diberlakukan, pasar membutuhkan dana sekitar Rp 21 triliun.
Angka kebutuhan dana ini akan melambung tinggi jika batas 15% diterapkan. Pasar harus menyiapkan dana ratusan triliun Rupiah.
“Dan juga kita hitung-hitungan, kita juga membuat kalkulasi bagaimana perkiraan nilai tambah yang harus diserap pasar apabila diberlakukan ketentuan wajib free float dengan besaran tertentu. Kalau kita naikkan ke 10%, itu dibutuhkan pendanaan itu sekitar Rp 21 triliun ya. Lalu juga kalau kita naikkan kepada 15%, itu dibutuhkan sekitar untuk penyerapannya sekitar Rp 203 triliun,” jelas Inarno.
Melihat besarnya dampak tersebut, OJK menyadari perlunya strategi pendalaman pasar. Masa transisi juga menjadi kunci agar kebijakan ini tidak mengguncang bursa.
“Jadi kami memang melihat bahwasanya ini perlu untuk ada masa transisi untuk tersebut,” tambahnya.
Selain soal persentase, OJK juga mengubah dasar perhitungan free float. Kebijakan saat ini menggunakan nilai ekuitas. Aturan baru nanti akan beralih menggunakan kapitalisasi pasar atau market cap.
Inarno merinci usulan tingkatannya. Perusahaan dengan market cap di bawah Rp 5 triliun wajib memiliki free float 20%. Perusahaan bernilai Rp 5 triliun hingga Rp 50 triliun wajib memiliki 15%. Sedangkan perusahaan raksasa di atas Rp 50 triliun cukup memiliki 10%.
“Jadi yang tadinya ekuitas itu dengan market cap. Dan ini adalah sejalan dengan berbagai bursa global antara lain best practice itu ada di Hong Kong, Malaysia dan Singapura,” pungkas Inarno.
