STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Bursa Efek Indonesia (BEI) telah merilis Peraturan Nomor I-N tentang Pembatalan Pencatatan (delisting) dan Pencatatan Kembali (relisting). Beleid baru ini menggantikan peraturan sebelumnya yang terpisah untuk saham dan Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS).
Ini adalah hasil harmonisasi dari Peraturan Bursa Efek Jakarta Nomor I-I dan Peraturan Bursa Efek Surabaya Nomor I.A.7. Hal ini juga merupakan tindak lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 3/POJK.04/2021 dan Surat Edaran OJK Nomor 13/SEOJK.04/2023.
Berdasarkan aturan di atas, delisting dapat dilakukan dalam dua kondisi: atas permohonan perusahaan (voluntary delisting) dan delisting paksa karena perintah OJK atau keputusan BEI (forced delisting).
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menjelaskan bahwa aturan ini telah ada sejak beberapa tahun lalu, namun BEI menyesuaikannya dengan POJK No 3 Tahun 2021 yang mengatur kegiatan di pasar modal. BEI juga memasukkan aturan lama dari Bursa Efek Surabaya terkait delisting surat utang atau sukuk. Penyesuaian ini bertujuan untuk menyelaraskan aturan OJK dan peraturan internal BEI.
Nyoman mengatakan, ada beberapa aturan baru terkait dengan delisting Perusahaan. Untuk voluntary delisting, BEI tidak lagi mengatur harga buyback. Sedangkan pada forced delisting, BEI akan mengakomodasi buyback ketika perusahaan tidak lagi berkelanjutan.
Delisting paksa memiliki konsekuensi serius bagi direksi, komisaris, dan pemegang saham pengendali perusahaan. Pihak-pihak tersebut bertanggung jawab atas penyebab delisting paksa, sehingga keterlibatan mereka menjadi aspek penting dalam evaluasi.
BEI menetapkan aturan tegas terhadap board of directors (BOD), board of commissioners, dan pemegang saham pengendali. Mereka diwajibkan untuk menuntaskan proses pembelian kembali (buyback) saham sebelum benar-benar hengkang dari lantai bursa. Mereka yang terlibat dalam delisting paksa tersebut juga akan dilarang masuk Kembali ke pasar modal selama lima tahun. “Aturan ini dibuat untuk melindungi investor,” ujar Nyoman di Jakarta, Senin (3/6/2024).
kendati begitu, Nyoman memastikan bahwa BEI tetap akan mengedepankan pendekatan persuasif terhadap emiten yang masuk kriteria delisting secara paksa. BEI lebih dulu akan menggelar dengar pendapat (hearing) bersama emiten yang bersangkutan. BEI ingin mendapatkan komitmen atau penyampaian surat komitmen dari pihak yang akan melakukan pembelian Kembali saham.
Tapi, kata Nyoman, jika perusahaan tidak dapat dihubungi, maka regulator Bursa dapat melanjutkan kegiatan kepada otoritas yang lebih tinggi. Salah satunya adalah dengan melibatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengejar dan menyita aset emiten yang mengalami delisting secara paksa tersebut.
Selain itu, lanjut Nyoman, beleid ini juga mengatur tentang biaya voluntary delisting. Menurut Nyoman, BEI telah menaikan biaya delisting paksa dari 2 kali ALF (Average Last Fee) menjadi 5 kali ALF. Perubahan ini bertujuan untuk mendukung pengembangan pasar modal. Perubahan ini merupakan respons terhadap kebutuhan akan pembaruan aturan yang telah berlaku sejak 2004.
‘Biaya delisting paksa kita naikan bukan untuk pendapatan bursa, Tapi supaya perusahaan-perusahaan tersebut menghindari delisting, dengan memperbaiki perusahaannya. Sehingga ke depan bisa mempertahankan status sebagai Perusahaan Tercatat di bursa,” jelas tegas Nyoman.
Transparansi informasi juga menjadi fokus peraturan ini. Jika sebuah perusahaan berpotensi delisting, BEI akan memberikan informasi secara berkala setiap enam bulan selama 24 bulan. Ini untuk memberi sinyal kepada pasar mengenai kondisi perusahaan tersebut. Adapun saat ini, ada sekitar 41 perusahaan yang berpotensi mengalami delisting karena telah disuspensi selama lebih dari 6 bulan.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran investor mengenai kondisi perusahaan tercatat, sehingga mereka dapat membuat keputusan investasi yang lebih baik. BEI berharap peraturan baru ini dapat meningkatkan kepercayaan investor dan menjaga integritas pasar modal Indonesia.
Penambahan ketentuan ini juga sejalan dengan praktik yang sudah berjalan saat ini. Dengan demikian, langkah ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan kepastian bagi para pelaku pasar modal.