STOCKWATCH.ID (HOUSTON) – Harga minyak dunia merosot ke posisi terendah sejak awal Mei pada perdagangan Senin (20/10/2025), waktu setempat atau Selasa pagi (21/10/2025) WIB. Penurunan ini dipicu kekhawatiran pasokan yang melimpah dan meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang bisa menekan permintaan energi global.
Mengutip CNBC International, kontrak berjangka Brent turun 28 sen atau 0,46% ke level US$61,01 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah tipis 2 sen atau 0,03% ke posisi US$57,52 per barel, di New York Mercantile Exchange. Kedua acuan harga ini sempat anjlok lebih dari US$1 di awal sesi dan menutup perdagangan di level terendah sejak awal Mei.
Arah kekhawatiran pasar kini berbalik. Jika sebelumnya fokus pada potensi kekurangan pasokan, kini justru ketakutan akan kelebihan suplai yang mendominasi. Struktur kontrak berjangka Brent menunjukkan pola contango, yaitu harga pengiriman cepat lebih murah dibanding pengiriman jangka panjang. Kondisi ini mendorong para pedagang menimbun minyak sementara untuk dijual di masa depan dengan harga lebih tinggi.
Pola contango pada Brent muncul pertama kali sejak Mei dan kini melebar paling besar sejak Desember 2023. Situasi serupa juga terlihat pada kontrak minyak AS yang beralih ke pola contango untuk pertama kalinya sejak Januari 2024.
“Ketakutan akan kelebihan pasokan mulai menghantui pasar, terutama untuk tahun 2026,” kata John Kilduff, partner di Again Capital. “Kita akan mulai melihat peningkatan penyimpanan minyak di laut maupun di darat. Ini narasi bearish yang sudah lama tidak muncul,” ujarnya.
Sepanjang pekan lalu, harga minyak Brent dan WTI sama-sama turun lebih dari 2%. Penurunan ini menjadi yang ketiga secara beruntun. Tekanan juga datang dari proyeksi International Energy Agency (IEA) yang memperkirakan kelebihan pasokan bakal membesar pada 2026.
Sebelumnya, pasar minyak berada dalam kondisi backwardation, di mana harga jangka pendek lebih tinggi dibanding jangka panjang, menandakan pasokan ketat dan permintaan kuat. Kini kondisinya berbalik, mencerminkan kekhawatiran berlebihnya suplai.
Ketegangan dagang antara AS dan China juga menambah tekanan. Kedua negara saling mengenakan biaya tambahan di pelabuhan bagi kapal yang mengangkut kargo antarwilayah. Langkah ini dikhawatirkan mengganggu arus perdagangan global.
Kepala World Trade Organization (WTO) telah mengimbau AS dan China agar menurunkan ketegangan. Ia memperingatkan, perpecahan ekonomi antara dua kekuatan besar itu bisa menekan output ekonomi global hingga 7% dalam jangka panjang.
Beberapa tekanan harga minyak sedikit teredam setelah kelompok lobi bisnis AS yang beranggotakan perusahaan besar seperti Oracle, Amazon, dan Exxon Mobil mendesak pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menunda aturan yang dinilai menghambat ekspor bernilai miliaran dolar.
Trump juga menegaskan, AS akan tetap memberlakukan “tarif besar-besaran” terhadap India kecuali negara itu berhenti membeli minyak dari Rusia.
Di sisi lain, aktivitas pengeboran minyak di AS mulai meningkat. Data Baker Hughes menunjukkan perusahaan energi AS menambah jumlah rig pengeboran untuk pertama kalinya dalam tiga minggu terakhir.
“Dalam jangka pendek, pasar masih berada pada fase campuran antara perawatan kilang, pelemahan margin produk, dan fokus pada data persediaan minyak mingguan AS,” tulis analis Gelber and Associates dalam risetnya.
Survei awal Reuters memperkirakan persediaan minyak mentah AS naik pada pekan lalu, menambah tekanan pada harga yang kini sudah menyentuh level terendah dalam lima bulan terakhir.
