STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Investor asing tampaknya mulai beralih dari pasar saham ke instrumen pendapatan tetap. Data terbaru menunjukkan bahwa investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) di pasar saham, tetapi justru mencatatkan pembelian bersih (net buy) di pasar obligasi.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto, mengungkapkan kondisi ekonomi global saat ini membuat obligasi lebih menarik dibandingkan saham. “Dari sisi makro, perlambatan ekonomi global membuat obligasi berpotensi lebih unggul,” ujarnya, dalam acara Buka Puasa Bersama Media, di Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Selain investor asing, tren serupa juga terlihat di kalangan investor domestik. Perusahaan asuransi dan investor ritel masih aktif melakukan pembelian obligasi untuk mendapatkan imbal hasil optimal pada 2025.
Dari sisi penerbitan, obligasi korporasi dalam denominasi rupiah terus mengalami pertumbuhan. Tahun lalu, penerbitan obligasi korporasi naik 11,2% meskipun kondisi pasar global penuh ketidakpastian.
Tahun ini, hingga Februari, sudah ada penerbitan obligasi korporasi senilai Rp20 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024, angka ini naik 50%. Jika tren ini berlanjut, Handy memperkirakan total penerbitan obligasi korporasi bisa mencapai Rp 160 triliun tahun ini.
Pertumbuhan penerbitan obligasi juga didorong oleh kebutuhan refinancing yang cukup besar. Di sisi lain, obligasi pemerintah (SBN) akan sangat bergantung pada defisit anggaran negara. Berdasarkan asumsi dalam APBN, penerbitan bersih SBN diperkirakan mencapai Rp 640 triliun.
Namun, Handy menekankan bahwa pemerintah memiliki fleksibilitas pembiayaan yang cukup tinggi. “Pemerintah masih punya saldo anggaran lebih (SAL) yang besar dan bisa digunakan untuk mengurangi kebutuhan penerbitan utang,” jelasnya.
Dari segi imbal hasil (yield), pergerakan akan sangat ditentukan oleh suku bunga, keseimbangan antara suplai dan permintaan, serta valuasi pasar. Handy memprediksi yield obligasi tenor 10 tahun berpotensi turun ke level 6,5%, dari posisi saat ini di sekitar 7,6%.
Penurunan yield ini bergantung pada beberapa faktor, termasuk kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dan kemungkinan penurunan suku bunga acuan Amerika Serikat (Fed Funds Rate). Jika suku bunga turun, harga obligasi berpotensi naik, memberikan peluang capital gain bagi investor.