STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia tergelincir pada penutupan perdagangan Senin (5/8/2024) waktu setempat atau Selasa pagi (6/8/2024) WIB. Harga minyak mentah AS turun ke level terendah dalam enam bulan terakhir. Ini terjadi di tengah kekhawatiran pasar terhadap potensi resesi yang semakin meningkat.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September jatuh 58 sen atau 0,79% menjadi US$72,94 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Adapun harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober terpuruk 51 sen atau 0,66% mencapai US$76,30 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Penurunan harga minyak ini terjadi seiring dengan merosotnya pasar saham akibat data ekonomi yang lemah di AS. Tingkat pengangguran AS naik menjadi 4,3% pada bulan Juli, tertinggi sejak Oktober 2021. Selain itu, sektor manufaktur AS mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut.
Menurut Matt Smith, analis utama minyak di Kpler, harga minyak mengikuti penurunan pasar saham. Namun, ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan pemangkasan produksi oleh OPEC memberikan batas bawah bagi harga minyak.
Permintaan yang lemah dari China juga menambah kekhawatiran pasar. Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets, menyatakan lemahnya permintaan impor dan tingkat pemanfaatan kilang di Negeri Tirai Bambu tersebut sudah menjadi perhatian sebelum munculnya data ekonomi AS yang buruk.
OPEC+ berencana meningkatkan produksi pada bulan Oktober. Namun, rencana ini bisa berubah tergantung kondisi pasar. Croft menyebutkan jika kondisi pasar terus melemah, OPEC+ mungkin tidak akan melanjutkan peningkatan produksi. Bahkan, ada kemungkinan mereka akan kembali memangkas produksi.
Bob Yawger, direktur eksekutif energi berjangka di Mizuho Securities, mengatakan bahwa OPEC+ masih berencana meningkatkan produksi berdasarkan pernyataan minggu lalu. Namun, dengan harga minyak saat ini, rencana tersebut mungkin sulit dilakukan tanpa menyebabkan harga minyak jatuh lebih dalam.
Risiko geopolitik tetap menjadi faktor utama. Israel sedang bersiap menghadapi serangan dari Iran setelah pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran minggu lalu. Bob McNally, presiden Rapidan Energy, memperingatkan bahwa ketegangan di Timur Tengah semakin meningkat. Jika Iran menyerang Israel dan menimbulkan korban sipil, pemerintah Netanyahu kemungkinan akan melakukan serangan balasan yang lebih keras.