STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Bursa saham Wall Street mengalami hari yang kelam pada penutupan perdagangan Senin (5/8/2024) waktu setempat atau Selasa pagi (6/8/2024) WIB.
Mengutip CNBC International, Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) di Bursa Efek New York, AS terjun bebas 1.033,99 poin atau 2,6%, menyentuh level 38.703,27. Setali tiga uang, Indeks S&P 500 (SPX) ambruk 160,23 poin atau 3% menjadi 5.186,33. Hal senada juga terjadi pada Indeks komposit Nasdaq (IXIC) terpuruk 576,08 poin atau 3,43% mencapai 16.200,08. Ini adalah penurunan terbesar Dow dan S&P 500 sejak September 2022.
Ketakutan akan resesi di AS menjadi penyebab utama kepanikan pasar global. Laporan pekerjaan bulan Juli yang mengecewakan pada hari Jumat lalu memicu kekhawatiran ini. Selain itu, mencuat kecemasan bahwa Federal Reserve akan menunda menurunkan suku bunga untuk meredam perlambatan ekonomi semakin memperburuk situasi.
Saham teknologi raksasa mengalami penjualan besar-besaran. Nvidia anjlok 6,4%, Apple turun 4,8% setelah Berkshire Hathaway milik Warren Buffett mengurangi kepemilikannya di perusahaan tersebut hingga setengahnya. Tesla juga turun 4,2%, sementara Super Micro Computer melemah 2,5%.
Di Asia, pasar saham Jepang mencatat penurunan terbesar sejak “Black Monday” tahun 1987. Indeks Nikkei turun 12,4% dan ditutup pada 31.458,42. Penurunan sebesar 4.451,28 poin adalah yang terbesar dalam sejarah indeks tersebut.
Pasar global lainnya juga terkena dampak signifikan. Yield Treasury AS turun karena investor beralih ke obligasi sebagai tempat aman. Yield 10-tahun turun ke 3,78%, terendah sejak Juni 2023. Bitcoin jatuh dari hampir US$62.000 pada hari Jumat menjadi sekitar US$54.000 pada hari Senin. Indeks Stoxx 600 Eropa turun 2,2%. Indeks Volatilitas Cboe, dikenal sebagai “fear gauge” Wall Street, naik ke 38 setelah sebelumnya mencapai 65, tertinggi sejak awal pandemi Covid-19 tahun 2020.
Ada juga spekulasi bahwa unwinding dari yen “carry trade” menambah bahan bakar kejatuhan pasar global. Bank of Japan menaikkan suku bunga minggu lalu, mengurangi perbedaan suku bunga antara Jepang dan AS, yang menyebabkan yen menguat terhadap dolar dan menghentikan praktik pedagang meminjam dalam mata uang murah untuk membeli aset global lainnya.
“Pasar sedang bersiul melewati kuburan. Saya pikir orang-orang pada dasarnya terlena dalam rasa aman, namun pasar itu sendiri sangat rentan terhadap koreksi — dan data ekonomi serta pekerjaan yang lebih lemah dari yang diharapkan menjadi katalis untuk koreksi tersebut,” kata Sam Stovall, kepala strategi investasi di CFRA Research. S&P 500 saat ini sekitar 8,5% di bawah titik tertinggi terbarunya.
Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee, dalam wawancaranya di CNBC, menyatakan bahwa suku bunga pada level saat ini mungkin terlalu “restriktif.” Jika kondisi ekonomi memburuk secara signifikan, bank sentral akan mengambil tindakan.
Hanya 22 saham di S&P 500 yang mengalami kenaikan dalam sesi brutal bagi investor ini.