STOCKWATCH.ID (NEW YORK) – Bursa saham Wall Street kembali melemah pada penutupan perdagangan Kamis (6/11/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (7/11/2025) WIB. Investor menjual saham-saham teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang kembali tertekan karena kekhawatiran valuasinya terlalu tinggi.
Mengutip CNBC International, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) di Bursa Efek New York merosot 398,7 poin atau 0,84% menjadi 46.912,3. Indeks S&P 500 (SPX) turun 75,97 poin atau 1,12% ke level 6.720,32. Sementara itu, indeks komposit Nasdaq (IXIC) yang didominasi saham teknologi, anjlok 445,81 poin atau 1,9% ke posisi 23.053,99. Nasdaq 100 bahkan sudah turun lebih dari 2% sejak akhir pekan lalu dan berpotensi mencatat pekan terburuk sejak awal April.
Tekanan terbesar datang dari saham Nvidia, Microsoft, Palantir Technologies, Broadcom, dan Advanced Micro Devices (AMD). Saham-saham AI terus bergerak tidak stabil sejak awal November dan tren itu berlanjut pada perdagangan Kamis.
Qualcomm anjlok hampir 4% meski membukukan laba kuartalan di atas ekspektasi. Sentimen negatif muncul setelah perusahaan memperingatkan potensi kehilangan bisnis dari Apple. Saham AMD yang sempat menguat pada Rabu justru merosot 7%. Sementara Palantir turun hampir 7% dan Oracle melemah 3%. Saham raksasa AI lainnya, Nvidia dan Meta Platforms, juga ikut tertekan.
Presiden FBB Capital Partners, Mike Mussio, menilai tekanan di pasar saat ini dipicu oleh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap saham-saham teknologi. “Dari sisi valuasi, banyak saham diperdagangkan dengan harga yang terlalu tinggi dan diasumsikan sempurna. Kini pasar menunjukkan perbedaan antara perusahaan yang benar-benar mencatatkan kinerja baik dan yang hanya unggul di pendapatan namun memberi panduan laba yang lemah,” ujarnya.
Menurut Mussio, hal inilah yang membuat beberapa saham naik dua digit, sementara yang lain justru turun tajam. “Tidak banyak yang berada di tengah-tengah,” katanya.
Pelemahan di bursa juga diperburuk oleh meningkatnya kekhawatiran di pasar tenaga kerja Amerika Serikat. Laporan Challenger, Gray & Christmas mencatat pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Oktober mencapai lebih dari 153.000 kasus, hampir tiga kali lipat dibanding September dan melonjak 175% dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini merupakan yang tertinggi untuk bulan Oktober dalam 22 tahun terakhir dan menjadikan 2025 berpotensi menjadi tahun terburuk untuk PHK sejak 2009.
Kondisi ini memperlihatkan gambaran rapuh ekonomi Amerika Serikat, terutama di tengah minimnya data ekonomi resmi akibat penutupan sebagian pemerintahan yang sudah berlangsung lebih dari sebulan.
“Kami mulai melihat sedikit demi sedikit data ekonomi yang bukan dari pemerintah, dan hasilnya tidak terlalu menggembirakan,” ujar Mussio. Ia menambahkan, “Semua ini menjadi sinyal pelemahan pasar.” Namun, menurutnya hal itu tidak berarti awal dari penurunan besar. “Jika pemerintahan dibuka kembali dan data berikutnya menunjukkan konsumen masih kuat menjelang musim liburan, reli akhir tahun masih mungkin terjadi,” ujarnya.
Sepanjang pekan ini, ketiga indeks utama AS masih mencatatkan kinerja negatif. Hingga penutupan Kamis, indeks Dow turun 1,4%, S&P 500 melemah 1,8%, dan Nasdaq anjlok 2,8%.
Investor juga menyoroti perkembangan di Washington setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat mendengarkan argumen terkait kebijakan tarif perdagangan era pemerintahan Donald Trump. Dalam sesi tanya jawab Rabu, sejumlah hakim menunjukkan keraguan atas legalitas tarif tersebut, membuat sebagian investor memperkirakan putusan yang bisa membatalkan kebijakan tarif itu.
