Rabu, September 24, 2025
26.7 C
Jakarta

Daya Beli Masyarakat Masih Lemah, Stimulus Rp24 Triliun Dinilai Belum Cukup

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Pemerintah mulai menyalurkan stimulus fiskal jilid kedua senilai Rp24,44 triliun pada Juni hingga Juli 2025. Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengerek daya beli masyarakat yang menjadi salah satu pendorong utama Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Namun sejumlah indikator ekonomi menunjukkan sinyal peringatan. Stimulus ini diperkirakan belum cukup kuat untuk membalikkan pelemahan konsumsi rumah tangga, terutama dalam jangka pendek.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya sebesar 4,87% year-on-year (yoy). Ini menjadi capaian kuartalan terendah dalam tiga tahun terakhir, bahkan di luar masa pandemi.

Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur), Stefanus Dennis Winarto, menilai seharusnya ada dorongan konsumsi dari momen Ramadhan dan Idulfitri pada kuartal pertama. Ditambah lagi, pemerintah sudah menyalurkan berbagai stimulus seperti diskon tarif listrik dan insentif transportasi.

Namun, pertumbuhan PDB tetap di bawah 5%. “Ini menandakan tekanan terhadap daya beli masih tinggi dan stimulus belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pemulihan ekonomi,” ujar Stefanus.

Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB masih dominan, yaitu 54,53%. Tapi laju pertumbuhannya hanya 4,89% yoy, sedikit lebih rendah dibandingkan 4,91% yoy pada periode yang sama tahun lalu.

Hal ini menunjukkan konsumsi masyarakat masih dalam tekanan. Ketidakpastian pasar membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang dan memilih untuk menabung.

Stefanus memperkirakan dampak stimulus jilid kedua terhadap kuartal II juga masih akan terbatas. “Realisasi stimulus ini baru dimulai pada Juni dan bersifat sementara, sehingga efeknya terhadap konsumsi rumah tangga mungkin belum akan langsung terasa,” jelasnya di Jakarta, Jumat (13/6/2025).

Data Bank Indonesia per April 2025 turut memperkuat sinyal lemahnya konsumsi. Proporsi konsumsi masyarakat turun dari 75,3% menjadi 74,8%. Sebaliknya, alokasi untuk tabungan naik dari 13,8% menjadi 14,8%.

Pertumbuhan kredit konsumsi juga melambat. Pada April 2025 tercatat 8,9% yoy, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 9,2% yoy.

Situasi makin berat dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Pada Februari 2025, angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Jumlah ini naik sekitar 83 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, laju inflasi yang rendah memperkuat sinyal lemahnya permintaan domestik. Pada Mei 2025 terjadi deflasi 0,37% month-on-month (mom), lebih dalam dibandingkan deflasi 0,05% mom pada April.

“Deflasi yang dialami Indonesia adalah warning signal atas lemahnya kemampuan daya beli masyarakat Indonesia,” ujar Stefanus. Ia menilai stimulus seperti subsidi transportasi dan bantuan sosial memang positif, tapi belum cukup menjawab persoalan daya beli.

Menurutnya, pemulihan daya beli memerlukan program pemerintah yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan. Meski pemerintah mencoba memanfaatkan momentum libur sekolah dan gaji ke-13 untuk mendorong konsumsi, daya dorongnya belum cukup kuat.

Situasi ini membuat investor perlu bersikap lebih waspada. Strategi investasi defensif menjadi pilihan logis di tengah perlambatan ekonomi dan ketidakpastian global yang masih tinggi.

Stefanus menyarankan reksa dana pendapatan tetap sebagai salah satu pilihan. “Reksa dana ini mayoritas berisi obligasi pemerintah maupun korporasi yang menawarkan potensi imbal hasil lebih stabil dibandingkan instrumen lainnya seperti saham,” katanya.

Beberapa reksa dana pendapatan tetap juga memberikan dividen rutin, yang bisa dimanfaatkan sebagai penghasilan pasif.

Selain itu, reksa dana campuran juga layak dipertimbangkan untuk diversifikasi. Produk ini mengalokasikan dana ke saham, obligasi, dan pasar uang, dengan batas maksimum 79% untuk masing-masing aset.

Diversifikasi dalam reksa dana campuran membantu mengelola risiko di tengah pasar yang bergejolak, sekaligus membuka peluang imbal hasil yang lebih seimbang.

Bagi investor yang lebih fokus pada keamanan dan likuiditas, reksa dana pasar uang menjadi pilihan menarik. Instrumen ini berinvestasi pada deposito dan obligasi jangka pendek yang stabil dan cocok untuk menjaga arus kas portofolio.

Artikel Terkait

Likuiditas Perekonomian Tumbuh 7,6% Jadi Rp9.657,1 Triliun pada Agustus 2025

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Bank Indonesia (BI) mengumukan, likuiditas perekonomian...

Menkeu Purbaya Optimistis Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Lampaui 4,8%

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan...

Belanja Negara Tembus Rp1.960,3 Triliun per Agustus 2025

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Realisasi Belanja Negara hingga 31 Agustus...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer 7 Hari

Berita Terbaru