STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Upaya manajemen PT Sepatu Bata Tbk (BATA) untuk memperbaiki kinerja keuangan Perseroan belum membuahkan hasil positif. Buktinya, hingga semester I 2024 masih BATA masih merugi Rp127,34 miliar, membengkak 294% dari rugi Rp32,34 miliar pada semester I 2023.
Kerugian BATA, menurut laporan keuangan Juni 2024 yang diumumkan, Sabtu (06/10/2024), disebabkan antara lain, oleh penjualan merosot 22,47% menjadi Rp260,29 miliar pada semester I 2024, dari Rp335,76 miliar periode sama 2023.
Manajemen Perseroan hanya mampu menekan turun beban pokok penjualan sebesar 15,76% jadi Rp166,97 miliar, dari Rp198,21 miliar pada semester I 2023. Akibatnya, laba kotor BATA anjlok 32,15% jadi Rp93,32 miliar pada semester I 2024, dari Rp137,54 miliar pada semester I 2023.
Di sisi lain, beban penjualan dan pemasaran BATA naik 15,77% jadi Rp119,43 miliar dari Rp103,16 miliar pada semester I 2023. Beban umum dan administrasi turun 21,57% jadi Rp45,25 miliar, dari Rp57,7 miliar pada semester I 2024.
Perseroan mencatat beban restrukturisasi sebesar Rp64,47 miliar pada semester I 2024, dari sebelumnya tidak ada. Pada saat sama, BATA meraih keuntungan dari pelepasan aset tidak lancar yang dimiliki sebesar Rp27,79 miliar pada semester I 2024, dari sebelumnya tidak ada.
Meski begitu, rugi usaha BATA justru membengkak 408% jadi Rp120,05 miliar pada semester I 204 dari Rp23,63 miliar pada periode sama 2023. Rugi sebelum pajak BATA melambung 330,8% jadi Rp129,07 miliar dari Rp29,96 miliar.
Total asset BATA per Juni 2024 sebesar Rp495,05 miliar, turun 15,48% dari Rp585,73 miliar per Desember 2023. Jumlah liabilitas BATA, sebesar Rp490,57 miliar, naik 7,96% dari Rp454,38 miliar per Desember 2023. Ekuitas BATA anjlok tajam 1.118% jadi Rp4,48 miliar per Juni 2024, dari Rp131,35 miliar per Desember 2024.
Sekedar informasi, BATA telah menghentikan operasional pabrik Perseroan yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat pada 30 April 2024. Penutupan pabrik tersebut dilakukan karena Perseroan terus merugi selama empat tahun terakhir.
BATA juga tampak sudah tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta, karena permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di pabrik ini terus menurun. Kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia. (konrad)