STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Dolar AS kembali menunjukkan kekuatan pada penutupan perdagangan Rabu (8/1/2025) waktu setempat atau Kamis pagi (9/1/2025) WIB. Mata uang ini menguat untuk sesi kedua berturut-turut. Penyebab utama kenaikan ini adalah naiknya imbal hasil obligasi AS. Laporan menyebutkan bahwa Presiden terpilih Donald Trump mempertimbangkan langkah darurat untuk memberlakukan tarif baru.
Mengutip CNBC International, imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun mencapai 4,73%, level tertinggi sejak 25 April 2024. CNN melaporkan bahwa Trump sedang mempertimbangkan deklarasi keadaan darurat ekonomi nasional sebagai dasar hukum untuk menerapkan tarif universal pada negara sahabat maupun lawan.
Sebelumnya, Washington Post melaporkan bahwa Trump mempertimbangkan tarif lebih luas, meskipun ia kemudian membantahnya. “Ini semakin memperkuat tema dolar yang kuat, bahkan dengan data ADP yang mengecewakan, dolar tetap menguat hari ini,” kata Marc Chandler, kepala strategi pasar di Bannockburn Global Forex, New York.
Data pasar tenaga kerja AS menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Laporan ADP National Employment menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan pekerjaan sektor swasta AS melambat tajam pada Desember. Hanya 122.000 pekerjaan yang tercipta, turun dari 146.000 bulan sebelumnya. Para ekonom memperkirakan kenaikan 140.000 pekerjaan.
Namun, klaim pengangguran mingguan tercatat turun ke level terendah dalam 11 bulan, yaitu 201.000, lebih rendah dari perkiraan yang mengantisipasi 218.000.
Indeks dolar, yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekumpulan mata uang, naik 0,4% menjadi 109,02. Di sisi lain, euro turun 0,2% menjadi US$1,0317.
Data ini muncul menjelang laporan pekerjaan bulanan dari pemerintah AS yang akan dirilis pada hari Jumat. Pasar kini memperkirakan hanya ada 39 basis poin penurunan suku bunga oleh The Fed tahun ini. Potongan suku bunga pertama diperkirakan terjadi pada Juni mendatang.
Gubernur The Fed, Christopher Waller, menyatakan pada Rabu bahwa inflasi diperkirakan akan terus turun pada 2025, memungkinkan bank sentral AS untuk memangkas suku bunga lebih lanjut, meski dengan kecepatan yang belum pasti.
Pada hari yang sama, pasar juga memperhatikan minutemen rapat The Fed pada 17-18 Desember 2024. Minutemen ini dapat memberikan gambaran sejauh mana para pembuat kebijakan mendukung untuk menahan pemotongan suku bunga, mengingat laju inflasi yang lambat dan ekonomi yang tetap tangguh.
Analis Goldman Sachs menyoroti bahwa reaksi The Fed terhadap dampak inflasi dan dampak negatif terhadap pertumbuhan akan memengaruhi nilai dolar. Untuk saat ini, mereka memprediksi dampak negatif dari tarif di luar AS lebih besar daripada di dalam negeri, yang akan tercermin dalam kebijakan moneter.
Poundsterling melemah 1,06% menjadi US$1,2339 setelah sempat jatuh ke level terendahnya sejak 22 April 2024. Hal ini terjadi bersamaan dengan aksi jual besar-besaran di pasar saham Inggris dan obligasi pemerintah, di mana imbal hasil obligasi 10 tahun Inggris tercatat mencapai level tertinggi dalam 16,5 tahun.
Sementara itu, terhadap yen, dolar menguat 0,22% menjadi 158,36. Dolar mendekati level 160, yang dapat memicu otoritas Jepang untuk campur tangan guna mendukung mata uangnya. Di sisi lain, sentimen konsumen Jepang memburuk pada bulan Desember, menurut survei pemerintah. Hal ini menimbulkan keraguan pada pandangan Bank of Japan bahwa belanja rumah tangga yang solid akan mendukung perekonomian dan mendorong kenaikan suku bunga lebih lanjut.