STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Kapal tunda secara perlahan menarik kapal CMA CGM Alexander Von Humboldt memasuki dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT), Jakarta Utara, 31 Oktober 2022 lalu. Kapal berkapasitas 16 ribu TEUs ini merupakan salah satu kapal terbesar di dunia yang pernah sandar di pelabuhan Indonesia. “Hal ini menguatkan posisi JICT sebagai pelabuhan peti kemas internasional yang menjadi pilihan pelanggan,” ujar Wakil Direktur Utama JICT Budi Cahyono.
Kapal yang memiliki panjang 396 meter atau hampir empat kali lapangan sepak bola dengan bobot 186.470 DWT ini dibuat Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering, salah satu dari tiga pembuat kapal terbesar di Korea Selatan. Dua galangan kapal lainnya adalah Hyundai dan Samsung. Von Humboldt yang diluncurkan di Hamburg, Jerman, pada Mei 2013 ini memiliki rute pelayaran langsung Amerika Serikat-Indonesia.
Presiden Direktur CMA CGM Indonesia John Lim mengatakan kapal-kapalnya akan memfasilitasi pengiriman barang dari Indonesia ke Amerika dan sebaliknya. “Layanan ini diutamakan guna memfasilitasi pertumbuhan volume perdagangan antara Indonesia dengan Amerika, dan mengantisipasi pertumbuhan ekspor sebesar dua digit pada akhir tahun 2022,” ujar John saat menyambut kedatangan Alexander Von Humboldt.
Perdagangan Indonesia-Amerika Serikat memang terus bertumbuh. Selain itu, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor kedua terbesar Indonesia, setelah China. Di tengah krisis global saat ini, ekspor Indonesia ke Negeri Abang Sam pada Januari-November 2022 masih tumbuh 13,02 persen menjadi US$26,14 miliar. Bahkan, pada periode yang sama tahun sebelumnya, ekspor Indonesia meningkat sampai 38,4 persen.
Karena itu, kedatangan kapal-kapal raksasa seperti Von Humboldt mengharuskan JICT terus memodernisasi diri. Juni lalu, JICT mendatangkan dua QCC (Quay Container Crane) jenis Super Post Panamax buatan Sany Marine Heavy Industry, salah satu produsen derek terkemuka asal China. Alat yang memiliki jangkauan 65 meter dan kapasitas sampai 65 ton ini juga sangat efisien dalam konsumsi bahan bakarnya.
Peralatan baru yang dipasang di dermaga ini akan menggantikan 2 unit QCC lama yang sudah melayani delapan dermaga yang dimiliki JICT. Tambahan peralatan dengan investasi US$15 juta (Rp230 miliar) tersebut otomatis akan meningkatkan produktivitas JICT. “Kami percaya JICT mampu mempertahankan posisi sebagai gerbang utama ekspor-impor Indonesia,” kata Direktur Utama JICT Ade Hartono dalam sambutannya ketika menerima dua QCC tersebut.
Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengatakan, tambahan crane baru tersebut akan dapat meningkatkan level of service JICT. “Kualitas dan produktivitas arus barang akan meningkat. Layanan JICT juga akan lebih cepat. Hal ini akan menguntungkan para pengguna jasa,” kata Wakil Presiden Direktur Interport, anak perusahaan Indika Energy ini.
Selain terus memodernisasi peralatan untuk meningkatkan produktivitas, JICT juga menerapkan digitalisasi dan otomatisasi dalam seluruh operasi pelabuhan, mulai dari pintu gerbang hingga transaksi pembayaran. “Kami sudah melakukan otomatisasi gerbang dengan JICT Auto Gate System (JAGS) dikombinasikan dengan aplikasi Truck ID sejak 2016. Dua tahun kemudian, aplikasi ini diterapkan di seluruh gerbang Pelabuhan Tanjung Priok,” kata Budi Cahyono.
Seluruh proses operasional di terminal juga menggunakan sistem yang dinamakan NGen. Seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di lapangan, sudah terintegrasi. Sistem ini dipakai di semua pelabuhan Hutchison Port Holding (HPH) di seluruh dunia. Dimana komposisi pemegang saham JICT yang dimiliki oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) sebagai pemegang saham mayoritas JICT sebesar 51,0 persen dan , selebihnya dimiliki Hutchison Port Jakarta PTE Limited sebesar 48,9 persen dan Koperasi Pegawai Maritim sebesar 0,1 persen.
Budi menceritakan, begitu ada pelanggan yang mengajukan order, otomatis operator di Head Truck dan RTGC bisa langsung bergerak. Sehingga, pengguna jasa bisa mendapatkan kepastian, termasuk lokasi kontainer mereka. “tidak ada ada lagi pelanggan yang bisa minta didahulukan, padahal datangnya belakangan. Sewaktu sistemnya masih manual, persoalan ini menjadi isu di terminal,” kata Budi Cahyono yang sebelumnya pernah menjadi Direktur Keuangan JICT ini.
Sistem pembayaran biaya ekspor-impor di JICT juga sudah bisa dilakukan secara online menggunakan aplikasi Web Billing (WEBI) atau Mobile Apps berbasis Android. Pengguna jasa tak perlu lagi datang ke pelabuhan untuk melakukan pembayaran. “Dulu mereka harus membawa uang ratusan juta rupiah hanya dalam tas kresek. Sekarang mereka bisa melakukannya melalui ATM atau internet banking bank-bank pemerintah,” kata Budi Cahyono lagi.
Menurut Budi Cahyono, pemanfaatan teknologi informasi (IT), termasuk aplikasi digital, di JICT berhasil memperlancar dan mempercepat arus barang, baik dari kapal ke Head Truck atau sebaliknya maupun di dalam terminal penumpukan (container yard). “Efisiensi waktu merupakan kunci bagi semua stakeholder pelabuhan untuk membentuk ekosistem pelabuhan seperti yang diinginkan pemerintah dengan adanya National Logistics Ecosistem,” kata Yukki Nugrahawan Hanafi.
Karena itu, kata Yukki Nugrahawan Hanafi, diperlukan kolaborasi yang melibatkan pengelola pelabuhan seperti Pelindo atau operator terminal peti kemas seperti JICT, seluruh pengguna jasa di pelabuhan, baik di level nasional maupun global, serta 18 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam ekosistem logistik nasional. “Kolaborasi ini is a must, sebuah keharusan,” kata mantan Presiden Komisaris PT Dewata Freight International Tbk ini.
Sampai November 2022, arus barang di JICT mencapai 1.826.053 TEUs. “Sampai akhir tahun, kita perkirakan bisa mencapai total arus barang di atas dua juta TEUs,” kata Budi Cahyono. Jumlah ini sedikit lebih rendah dibandingkan throughput 2021 yang mencapai 2.037.518 TEUs, tapi masih lebih besar dibandingkan 2020 yang hanya 1.805.321 TEUs. Arus barang pada 2020 itu turun 13,4 persen akibat Covid-19.