STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) makin terpuruk di awal 2025. Pada sesi pertama perdagangan Jumat (28/2/2025), IHSG ditutup di level 6.300,144. Indeks anjlok 185,304 poin atau 2,86% dibandingkan penutupan Kamis (27/2/2025) di 6.485,448.
Sebanyak 541 saham dari 778 emiten yang diperdagangkan melemah di sesi pertama. Dalam sebulan terakhir, IHSG sudah ambles sekitar 11%.
Salah satu pemicu utama kejatuhan IHSG adalah derasnya arus keluar dana asing dari pasar modal Indonesia. Sejak awal 2025, total dana asing yang hengkang mencapai Rp18,98 triliun.
Pemangkasan bobot saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) turut memperburuk situasi. Dalam rebalancing terbaru, MSCI tidak menambah saham baru di kategori large cap Indonesia. Sebaliknya, MSCI justru mencoret tiga saham besar dari daftar utama.
Tiga emiten yang didepak adalah PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). MDKA dan INKP turun ke kategori small cap, sementara UNVR dikeluarkan sepenuhnya dari indeks MSCI.
Lalu, apa kata Bursa Efek Indonesia (BEI) soal ini?
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, menilai dinamika pasar bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Asia, Eropa, dan Amerika.
“Kalau dinamika di pasar, saya kira dari waktu ke waktu itu akan selalu ada. Itu adalah cerminan dari demand dan supply yang ada di pasar,” ujarnya di Gedung BEI Jakarta, Jumat (28/2/2025).
Namun, Jeffrey menegaskan BEI tidak dalam posisi untuk menganalisis penyebab turunnya IHSG.
“Kalau indeks itu kami yakini adalah mekanisme pasar. Jadi bursa tentu tidak pada posisi untuk menganalisis itu, ya itu adalah porsinya teman-teman analis,” katanya.
Mengenai keluarnya dana asing, BEI tetap berupaya mendorong investor agar berinvestasi di pasar modal Indonesia dengan pendekatan rasional.
“Kami dari bursa terus mendorong agar investor berinvestasi di pasar modal Indonesia, tetapi tentunya dengan mengambil keputusan investasi secara rasional. Itu pesan kami,” jelas Jeffrey.
Ketika ditanya mengenai produk investasi yang bisa menjadi alternatif di tengah kondisi pasar yang bearish, Jeffrey menekankan bahwa investor harus melakukan analisis sendiri.
“Dalam kondisi pasar apa pun, ya tentu investor harus melakukan analisis dengan baik, menyesuaikan dengan profil risiko masing-masing, dan mengambil keputusan secara rasional. Dalam segala kondisi pasar, di situ ada peluang,” katanya.
Sementara itu, terkait penurunan peringkat BEI di MSCI dan keluarnya beberapa emiten dari indeks tersebut, Jeffrey menyebut hal itu sebagai bagian dari dinamika pasar.
“Kembali lagi, kami dari Bursa tentu tidak pada kapasitas kami untuk menganalisis faktor apa yang dominan. Itu menjadi kompetensi dari teman-teman analis,” katanya.
Ia juga tidak bisa memastikan apakah ada korelasi antara turunnya IHSG dengan keluarnya beberapa emiten dari MSCI.
“Nah itu yang kami nggak tahu. Harus tanya-tanya ke analis,”tukasnya.
Di sisi lain, tren penurunan investor asuransi dan dana pensiun di BEI juga menjadi perhatian. Namun, BEI menilai hal tersebut bergantung pada kebijakan masing-masing institusi.
“Kami tentunya mendorong terus ya, baik investor asing, investor institusi kita, maupun investor retail kita, untuk ikut berpartisipasi menikmati potensi pertumbuhan pasar modal kita,” kata Jeffrey.
Dengan kondisi pasar yang penuh dinamika, BEI menegaskan bahwa keputusan investasi tetap berada di tangan investor.
“Itu adalah keputusan investasi masing-masing, ya tentu kami nggak tahu,” tutupnya.