STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada bulan Agustus diproyeksikan menguat terbatas dengan level resistance indeks berada di 7.070/7.200 dan level support berada di 6.793/6.650. Investor dapat mencermati saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hingga PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO).
Head of Technical Analyst Research BNI Sekuritas, Andri Zakarias Siregar mengatakan, secara teknikal untuk jangka pendek, IHSG diperkirakan bergerak netral selama di bawah 6.932. Hal ini tercermin dari Fibonacci indeks yang berada di 50% dari level indeks 7.355 – 6.509.
“Berdasarkan analisis ini, indeks berpeluang menguat terbatas di bulan Agustus yang di dukung oleh indikator stochastic weekly oversold atau jenuh jual dan bertahan di atas 6.793 (200 day MA),” ujar Andri dalam siaran pers.
Secara teknikal, IHSG pada Agustus 2022 pergerakannya juga diperkirakan masih kurang baik jika dibandingkan dengan periode sama pada tahun sebelumnya. Menurut Andri, kondisi indikator MACD stochastic untuk Agustus 2021 lebih bagus jika dibandingkan dengan Agustus 2022. Kondisi ini tercermin dari pergerakan indeks pada Juli 2022 yang menunjukan pola penurunan dari kondisi overbought (jenuh beli).
Investor dapat mencermati saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan target harga (target price/TP) Rp. 4.540 – 4.630, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan TP Rp 7.750/Rp 7.900, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) TP Rp 4.560/Rp 4.650, PT Astra International Tbk (ASII) TP Rp 6.500/6.700 dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) TP Rp 3.700.
Saham lainnya yang dapat dicermati adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan TP Rp 4.520/Rp 4.630, PT Medco Energi International Tbk (MEDC) TP Rp 680/Rp 720, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) TP Rp 2.150/Rp 2.330, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) Rp 5.350/Rp 5.450, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) TP Rp 1.800/Rp 1.860, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) TP Rp 350/Rp 370.
Research Analyst BNI Sekuritas Maxi Liesyaputra menambahkan, pergerakan IHSG pada Agustus ini akan dipengaruhi sejumlah sentimen. Dari global, The Fed dikabarkan akan menaikkan suku bunga lagi setelah sebelumnya menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin. Adapun level suku bunga yang dinaikkan akan lebih rendah.
“Kami melihat potensi kenaikan suku bunga yang lebih rendah ini tidak terlalu mempengaruhi pasar saham, hal ini tercermin dari suku bunga yang telah dinaikkan sebesar 75 basis poin dan pergerakan semua bursa saham justru mengalami kenaikan. Investor dan pelaku pasar sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sentimen ini,” jelas Maxi.
Perlu diketahui, peningkatan suku bunga The Fed dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan inflasi, dimana inflasi global saat ini dalam posisi tinggi. Sementara inflasi Indonesia posisi terakhir berada di 4,94% (Juli 2022). Angka ini lebih tinggi dari target awal Bank Indonesia (BI) yang berada di posisi 3% – 4%. Adapun BNI Sekuritas memperkirakan inflasi Indonesia berada di 4,1% – 4,7% sampai akhir tahun. Perkiraan ini masih mungkin dicapai seiring mulai menurunnya harga komoditas pangan dan energi di pasar global.
Dari dalam negeri, investor saat ini tengah menunggu pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Sebagaimana diketahui, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,3% pada 2022 dan 5,2% pada 2023, dibandingkan dengan tahun 2021 yang berada di posisi 3,7%.
Untuk data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang akan dirilis tanggal 5 Agustus tampaknya masih mencatat pertumbuhan yang relatif bagus. Hal ini sejalan dengan pandemi covid-19 yang tetap terkendali sepanjang kuartal- II sehingga kegiatan usaha dan aktivitas masyarakat diluar rumah meningkat signifikan. Selain itu harga komoditas yang tetap menarik di pasar global, membuat ekspor Indonesia tetap tumbuh bagus dan memberikan sumbangan yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II yang lalu.
Namun untuk kuartal III-2022 sampai akhir tahun, Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan kondisinya agak beresiko. Perkiraan ini didasarkan pada tingginya tekanan inflasi global, khususnya di negara- negara maju, yang direspon oleh bank sentral-nya dengan menaikkan suku bunga secara agresif dan pengetatan likuiditas. Disisi lain sumber inflasi itu sendiri sebagian berasal dari cost-push factors yang berada diluar kendali bank sentral. Misalnya gangguan rantai pasok akibat pandemi covid-19 yang kondisinya semakin memburuk dengan adanya perang Rusia – Ukraina serta sikap proteksionis beberapa negara yang mengurangi ekspor pangan dan energi untuk mengamankan pasokan dalam negerinya. Ini berarti kenaikan suku bunga tersebut belum tentu mampu menurunkan laju inflasi secara signifikan. Sebaliknya kenaikan suku bunga yang agresif tersebut berpotensi membawa ekonomi dunia jatuh ke jurang resesi.