STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak dunia mengalami penurunan tajam pada penutupan perdagangan Jumat (6/12/2024) waktu setempat atau Sabtu pagi (7/12/2024) WIB. Meskipun OPEC+ memperpanjang pengurangan produksi hingga akhir 2026, kekhawatiran tentang pasokan berlebih tetap mengganggu pasar.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari 2025 merosot 1.61% atau US$ 1.10, menjadi US$ 67.20 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Adapun harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari 2025 turun 1.35% atau US$ 0.97, mencapai US$ 71.12 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Dalam seminggu terakhir, harga Brent tercatat turun lebih dari 2%, sementara WTI melemah sekitar 1%. Penurunan ini menunjukkan sentimen pasar yang pesimis meski OPEC+ berusaha menahan pasokan dengan kebijakan pemangkasan produksi.
“Minyak mentah turun tiga hari berturut-turut. Ini menunjukkan bagaimana pasar bereaksi jika OPEC+ tetap memutuskan untuk meningkatkan produksi,” ujar Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank.
Pada Kamis lalu, OPEC+ memutuskan untuk menunda rencana peningkatan produksi yang seharusnya dimulai pada Oktober 2024. Mereka juga memperpanjang pemangkasan produksi hingga akhir 2026. Keputusan ini diambil karena permintaan global melambat, terutama dari China, dan produksi dari negara penghasil minyak non-OPEC+ meningkat.
Meski OPEC+ telah membuat keputusan tersebut, para analis tetap memprediksi surplus pasokan pada 2025. Bank of America bahkan memperkirakan harga Brent akan turun menjadi rata-rata US$ 65 per barel pada 2025, meskipun permintaan diperkirakan akan tumbuh 1 juta barel per hari.
HSBC memproyeksikan surplus pasokan minyak akan lebih kecil, yakni 0.2 juta barel per hari, dibandingkan proyeksi sebelumnya yang sebesar 0.5 juta barel per hari.
Selama sebulan terakhir, harga Brent berada dalam kisaran sempit antara US$ 70-75 per barel. Investor kini khawatir dengan tanda-tanda permintaan yang lemah di China dan ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah.
“Pasar terjebak dalam rentang sempit ini. Meski harga mungkin bergerak keluar dari rentang ini dalam jangka pendek, pandangan jangka menengah tetap pesimis,” kata Tamas Varga, analis dari PVM.