STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia melanjutkan tren kenaikan selama tiga hari berturut-turut pada penutupan perdagangan Kamis (20/2/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (21/2/2025) WIB. Kenaikan ini terjadi setelah data menunjukkan penurunan stok bensin dan distilat di AS. Kekhawatiran atas gangguan pasokan dari Rusia juga turut mendorong harga lebih tinggi.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret naik 32 sen atau 0.44% mencapai US$72.57 per barel., di New York Mercantile Exchange.
Adapun harga minyak mentah berjangka Brent, menguat 44 sen atau 0.58% menjadi US$76.48 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Administrasi Informasi Energi AS (EIA) melaporkan stok minyak mentah AS naik lebih dari perkiraan. Namun, stok bahan bakar turun akibat pemeliharaan musiman di kilang yang menyebabkan penurunan pemrosesan minyak.
“Kenaikan stok minyak mentah sedikit lebih besar dari perkiraan, tetapi ada penurunan kecil di bensin dan penurunan lebih besar di distilat, yang membuat total inventaris tetap stabil,” kata Giovanni Staunovo, analis UBS.
Gangguan pasokan minyak dari Rusia turut menjadi faktor utama yang mempertahankan harga tetap tinggi. Rusia menyerang infrastruktur gas Ukraina dan merusak fasilitas produksi gas, menurut Menteri Energi Ukraina German Galushchenko.
Selain itu, Rusia melaporkan bahwa aliran minyak Caspian Pipeline Consortium, salah satu jalur utama ekspor minyak mentah dari Kazakhstan, turun 30%-40% pada Selasa setelah serangan drone Ukraina terhadap stasiun pompa.
Di sisi lain, potensi dimulainya kembali pasokan minyak dari wilayah Kurdistan Irak berpotensi mengimbangi risiko pasokan. Namun, hingga Kamis, Turki yang menjadi tuan rumah pelabuhan Ceyhan belum menerima konfirmasi dari Irak terkait dimulainya kembali ekspor minyak dari wilayah tersebut.
Analis ING menyebut, jika pasokan dari Kurdistan kembali normal, pasar bisa mendapatkan tambahan 300.000 barel minyak per hari.
Sementara itu, kebijakan tarif impor yang diumumkan pemerintahan Presiden AS Donald Trump bisa memberikan tekanan pada harga minyak. Tarif yang lebih tinggi dapat meningkatkan biaya barang konsumsi, memperlambat ekonomi global, dan menurunkan permintaan bahan bakar.
“Kekhawatiran terhadap prospek ekonomi global wajar saja. Trump seakan menghancurkan struktur perdagangan bebas dunia dengan sinyal penerapan tarif 25% pada impor mobil ke AS,” ujar Bjarne Schieldrop, kepala analis komoditas di SEB.